Laman

Jumat, 07 Januari 2011

Nama Bugis Ditelan Zaman


Syamsul Rijal opini 
Tribun Timur/Angga

Rabu, 5 Januari 2011 | 06:28 WITA
Jika William Shakeaspeare mengatakan apalah arti sebuah nama, orang-orang muslim mengatakan nama adalah sebuah doa. Dua pendapat yang berbeda dan bertolak belakang.
Orang-orang yang memberikan nama untuk anaknya dengan mengabaikan arti sebuah nama mungkin mengikuti pendapat Shakeaspeare, tetapi orang-orang yang dengan sengaja mencarikan dan memberikan nama untuk anaknya dengan harapan si anak akan mengikuti makna namanya mungkin mengikuti pendapat dalam agama Islam.
Banyak orang yang mengikuti pendapat kedua di atas dengan memberikan nama-nama kepada anaknya sesuai dengan keinginan orang tua yang akan dititipkan kepada anak. Hal tersebut biasanya disesuaikan dengan kegemaran dan tokoh idola orang tua. Biasanya orang tua memberikan nama kepada anaknya seperti nama-nama artis, nama pemain sepak bola atau olahragawan terkenal, tokoh bangsa, tokoh dunia, dan nama-nama nabi. Ada pula cara lain yang sering digunakan oleh orang islam, yakni mengambil penggalan ayat-ayat dalam Alquran. 
Salah satu contoh nama anak-anak zaman sekarang (nama kontemporer) adalah nama Rezki yang berasal dari bahasa Arab telah menggeser nama asli bahasa Bugis Dalle. Padahal kedua nama tersebut  mempunyai arti yang sama. Kata rezki dan dalle ini memang mempunyai arti yang sama tetapi secara hakikat kebahasaan, keduanya memiliki nuansa makna yang berbeda. Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan. Ibarat uang logam dengan dua sisi. Sisi yang satu adalah budaya sedangkan sisi yang ada di sebelahnya adalah bahasa. Jadi kata dalle sudah melekat dalam budaya Bugis jika dibandingkan dengan kata rezki yang hanya merupakan bahasa serapan.
Pentingnya Arti Sebuah Nama
Pemberian nama kepada seorang anak dalam konteks budaya adalah sesuatu yang sangat esensial sifatnya. Dalam nama seorang anak, terdapat harapan dan doa yang dititipkan orang tua agar kelak setelah dewasa si anak akan mengikuti arti nama yang melekat pada dirinya. Selain itu, penggunaan nama seseorang bukan hanya sekadar doa dan harapan, melainkan nama juga berfungsi sebagai penanda sosial seseorang dalam masyarakat. Banyak orang yang disegani dalam kehidupan  sosial masyarakat hanya karena sebuah nama yang telah dikenal dalam masyarakat. Penggunaan nama juga dapat menunjukkan kebangsawanan seseorang, seperti gelar Andi pada masyarakat Bugis
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemilihan Nama
Ada hal menarik yang perlu diperhatikan dalam penggunaan bahasa Bugis, yakni masalah sikap bahasa penuturnya. Secara sadar, penutur bahasa Bugis sangat banyak dan dapat dijumpai di mana-mana. Hal ini membuktikan bahwa sikap bahasa penutur bahasa Bugis terhadap bahasanya sendiri masih kuat. Namun, dalam kondisi atau ranah tertentu, penutur bahasa Bugis memandang rendah penggunaan bahasa Bugis ini. Misalnya penggunaan atau pemilihan nama bagi anak-anak orang Bugis sekarang.
Pada saat ini sangat sulit ditemukan nama anak yang masih menggunakan bahasa Bugis asli. Para orang tua cenderung memilih kosa kata dari bahasa  Arab, Sangsekerta atau nama-nama yang berbau barat. Kebiasaan ini dapat mengurangi bahkan menghilangkan identitas orang Bugis seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern.
Pemilihan nama yang tidak berbahasa Bugis lagi tentu ada faktor-faktor yang menyebabkan. Faktor itu erat kaitannya dengan sikap bahasa penutur bahasa Bugis terhadap bahasanya sendiri.
 Faktor agama
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah adanya pengaruh kuat agama Islam dalam kebudayaan masyarakat Bugis. Bahasa Arab selalu diianggap sama dengan bahasa Alquran yang di dalamnya tedapat kebenaran mutlak menurut orang muslim. Dengan demikian, orang tua lebih banyak memilih nama-nama dari bahasa Arab karena dianggap dapat menjadi cerminan apa yang dilukiskan dalam Alquran tersebut. 
Tren dalam Masyarakat
Melalui tontonan siaran televisi, orang tua terasuki pikirannya dengan nama-nama tokoh dalam sebuah film atau nama-nama olahragawan, artis, tokoh bangsa, dan tokoh dunia yang mereka sering lihat. Karena seringnya menonton,  mereka menjadi gemar dan ingin mengikuti atau menyamai tokoh tersebut. Akhirnya, kegemaran dan kecintaan terhadap sosok tokoh itu kadang-kadang diabadikan lewat pemberian nama-nama kepada anaknya. Selanjutnya, beremunculanlah nama-nama seperti: Azizah, Ronal, Ibrahimovich, Saddam Husain, Karina, Bunga, dll.
Prestise
Penggunaan nama seseorang masih sangat dianggap sebagai salah satu hal membanggakan jika nama tersebut sangat bagus artinya di mata masyarakat. Sama halnya dengan bahasa itu sendiri sebagai kosakata, nama juga memberikan kebanggaan tersendiri baik bagi pemiliknya maupun orang yang memberikan nama itu (orang tua masing-masing).
Gengsi
Pemberian nama kepada seorang anak biasanya masih dipertimbangkan secara historis oleh orang tua. Artinya, orang tua mempertimbangkan jenis bahasa yang akan digunakan sebagai nama anaknya. Bahasa-bahasa yang masih kental nuansa Bugisnya biasanya dianggap sesuatu yang kuno karena tidak cocok lagi dengan zaman sekarang. Pertimbangan lain dari orang tua biasanya memikirkan kondisi psikologis si anak ketika bergaul dengan teman-temannya. Dalam pergaulan, anak-anak biasanya mengejek teman-temannya jika temannya tersebut memiliki nama yang masih menggunakan bahasa-bahasa daerah termasuk bahasa Bugis. 
Keturunan
    Gelar kebangsawanan juga sangat memengaruhi pemberian nama seorang anak dalam masyarakat Bugis. Nama-nama kebangsawanan ini diwariskan secara turun-temurun berdasarkan garis keturunan ayah. Misalnya seseorang bernama Andi Parenrengi memberikan nama kepada anaknya dengan mengikutkan namanya sehingga nama anaknya menjadi Andi LattoParenrengi.
Pemertahanan Identitas
Jika diperhatikan berdasarkan jumlah nama-nama orang Bugis yang menggunakan bahasa Bugis secara sengaja untuk mempertahankan identitas, faktor inilah yang paling sedikit. Sebenarnya faktor ini dapat bertumpang tindih dengan faktor lain seperti faktor prestise dan faktor keturunan. Namun, keluarga-keluarga bangsawan memberikan nama kepada anaknya kadang-kadang tidak bermaksud untuk mempertahankan tradisi tetapi sekadar untuk menyambung silsilah keluarga dan menjaga wibawa. Jadi,  sebenarnya mereka telah melanjutkan silsilah keluarga dan menjaganya, namun secara tidak sengaja, juga telah mempertahankan identitasnya sebagai orang Bugis.
    Ada beberapa contoh nama yang memiliki kemiripan dengan nama dalam bahasa Bugis tetapi masyarakat tidak memilih nama tersebut untuk nama bagi anaknya. Kata ayu dalam bahasa Jawa berarti cantik, anggun, menawan. Jika dikonversi ke dalam bahasa Bugis maknanya  kira-kira sama dengan cenning. Orang tua Bugis dahulu masih ada menggunakan nama I Cenning, namun sekarang nama seperti itu susah lagi dijumpai karena telah tergeser dengan kata ayu. Kata ayu ini lebih disenangi oleh sebagian orang Bugis karena kendengaran lebih keren dan modern dibanding dengan kata cenning.
Nama faishal/hakim memiliki arti serupa dengan mapparessa. Kata faishal dan hakim adalah dua kata dalam bahasa Arab yang memiliki arti yang sama, yakni penengah atau seorang yang bijak dan adil dalam menyelesaikan segala urusan.  Dalam bahasa Bugis, ada kata mapparessa yang artinya memeriksa.
Nama hadi memiliki arti yang serupa dengan parenrengi. Kata parenrengi yang berasal dari kata dasar renreng yang berarti tuntun. Jadi, parenrengi berarti orang yang menuntun kita berjalan. Kata parenrengi ini memiliki makna yang serupa dengan kata hadi dalam bahasa Arab yang berarti penunjuk (jalan).
Nama-nama yang ditampilkan di atas adalah nama yang memiliki padanan arti dalam bahasa Bugis. Nama-nama seperti rezki, ayu, faishal, hadi adalah nama yang berasal dari bahasa Arab dan bahasa Sangsekerta. Akan tetapi, orang Bugis lebih senang menggunakan nama-nama yang berasal dari bahasa serapan dibandingkan memilih bahasanya sendiri.
Penutur bahasa Bugis tetap menggunakan bahasanya dalam pergaulan sehari-hari tetapi mereka memiliki pandangan kurang baik (negatif) terhadap bahasanya dalam hal memilih nama. Justru mereka memandang positif penggunaan kosakata dari bahasa lain untuk dijadikannya sebagai nama.
Berdasarkan uraian di atas, muncul pertanyaan-pertnyaan yang perlu didiskusikan dalam forum tertentu. Apakah dengan semakin berkurangnya penggunaan nama diri yang berbahasa Bugis, berarti budaya Bugis juga sudah semakin berkurang karena pada prinsipnya, jika satu kosa kata hilang dalam satu bahasa berarti hilang pula satu budaya dalam masyarakat penutur bahasa tersebut. Namun, di balik hal itu, mungkin saja dengan pemilihan nama yang menggunakan berbagai bahasa untuk nama diri, justru menunjukkan tingkat kecerdasan masyarakat Bugis semakin maju.

*mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Hasanuddin
Tribun Timur
Lebih Interaktif, Lebih Akrab

Redaksi: 081.625.2233 (SMS), tribuntimurcom@yahoo.com, Facebook Tribun Timur Berita Online Makassar, twitter.com/tribuntimur
Sirkulasi: 081.625.2266 (SMS)
Iklan: 0411 (8115555)
( Muh Izzat Nuhung)